Powered By Blogger

Perguruan Tinggi, Strategi Kebudayaan Batanghari Sembilan

Sabtu, 08 November 2008

Oleh ERWAN SURYANEGARA bin ASNAWI JAYANEGARA bin SYAMSUDIN NATORADIN

PETANG-petang ke mane aku/ribang kemambang kudindak balik/badahku jauh tumpuan mate/ Sughang kukinak oi bukan gale/ribang kemambang, semirap kan petang/ke mane ku midang oi bukan gale (Petang-petang ke mana aku/dalam kegembiraan, aku tak mau pulang/dusunku jauh dari pandangan mata/setiap yang kulihat bukan si dia/dalam kegembiraan, menjelang senja/ke mana pun pergi, tak ada yang kurindukan).

Demikian, sepenggal syair dari lagu Ribang Kemambang, yang sengaja dipinjam sekedar ingin menunjukkan kegalauan selama ini!

Ketika membicarakan Sumatra Selatan, tidak perlu heran bila orang akan menjadi berdecak-decak kagum karena melihat begitu banyak potensi yang khas, baik yang terhampar, bila kita tidak mau menyebutnya terserak di permukaan bumi Sriwijaya maupun yang dikandung oleh wilayah ini. Batanghari (baca: sungai) juga merupakan keunikan tersendiri yang dimiliki oleh daerah ini, karena di Sumsel mengalir beberapa sungai besar, dan untuk daerah Uluan umumnya kata sungai disebut dengan istiah batanghari.

Demikian pula untuk penyebutan Kebudayaan Batanghari di sini, maksudnya adalah kebudayaan yang hidup, tumbuh, dan berkembang di daerah yang banyak dialiri oleh sungai, sehingga pola hidup dan kehidupan masyarakatnya memiliki kecenderungan banyak berhubungan dengan sungai atau batanghari.

Diawali sekitar 2000 SM atau empat ribuan tahun yang lalu, di Dataran Tinggi Pasemah atau di bumi Pasemah telah berlangsung hidup dan kehidupan suatu masyarakat prasejarah Indonesia, yang telah berbudaya tinggi dengan tradisi megalitiknya. Dari artefak-artefak tinggalannya dapat diidentifikasi bahwa mereka memiliki atau mengakui kewilayahan (teritorial) kultural yang berdasarkan batanghari . Adanya varian jumlah gelang kaki (satu, empat, lima, tujuh, dan sembilan) yang dimiliki oleh patung-patung megalitik Pasemah, sebagai bukti atau merepresentasikan bahwa sejak masa itu semangat otonomi sebetulnya sudah dihayati dan diaplikasikan pada masing-masing daerah aliran sungai atau batanghari tersebut.

Patung (idol) peninggalan masyarakat prasejarah Pasemah, sesungguhnya merupakan karya patung terbaik di zamannya. Dari artefak peninggalan tradisi megalitik di Pasemah itu menyiratkan, bahwa besar kemungkinannya (memerlukan penelitian) dari wilayah inilah yang menjadi sumber awal, kemudian tumbuh, berkembang, menyebar dan beragamnya seni budaya Nusantara hingga kini.

Peninggalan tradisi batu besar atau megalitik Pasemah umumnya berbentuk karya atau bahasa rupa, karena masa nirleka atau prasejarah itu manusia memang belum mengenal bahasa tulis. Namun, dengan keberadaan artefaktual dari peninggalan masa lalu itu, merupakan potensi yang dapat menjadi modal besar dalam upaya pembacaan dan merevitalisasi nilai-nilai lokal yang ada.

Berlanjut pada abad 7 sampai dengan abad 13 atau masa Sriwijaya, yang sempat terkubur lama dalam tebal dan gelapnya kabut sejarah, kemudian baru sekitar tahun 1900-an sedikit demi sedikit tabir yang menyelimuti Sriwijaya mulai terkuak. Tepatnya pada 1913 setelah H. Kern berhasil melakukan pembacaan atas penemuan prasasti Kota Kapur, di Bangka. Selanjutnya, disusul kemudian ditemukan beberapa prasasti Sriwijaya lainnya, termasuk adanya berita-berita asing (Arab dan Cina). Tetapi, kita mesti jujur ternyata hingga kini upaya pengungkapan seluk-beluk Sriwijaya ini masih belum begitu memuaskan, karena yang terungkap baru kebesaran Sriwijaya di bidang kekuasan. Ternyata, besarnya kekuasaan Sriwijaya itu tidak lepas pula dari penguasaan atas bandar atau pelabuhan yang strategis, artinya juga masih terkait dengan air sungai atau batanghari. Sementara, Sriwijaya secara kultural masih menyisakan beberapa pertanyaan besar.

Di wilayah ini, sejak lama teks Sriwijaya telah diabadikan sebagai ikon kebanggaan bagi banyak orang, terutama yang merasa dirinya sebagai orang Sumatra Selatan, seperti misalnya: Kodam Sriwijaya, Universitas Sriwijaya, Pupuk Sriwijaya, Stadion Bumi Sriwijaya, Festival Sriwijaya, Sriwijaya Televisi, Sriwijaya FC, dan beberapa lagi yang lainnya. Kebesaran dan kejayaan Sriwijaya telah terpatri dengan tinta emas dalam sejarah Indonesia, dengan kekuatan maritimnya Sriwijaya menjadi yang pertama berhasil mempersatukan Nusantara, serta di masa Sriwijaya itu pula wilayah ini pernah menjadi salah satu pusat pendidikan agama dunia.

Secara geografis-kultural, daerah ini termasuk bagian dari wilayah yang dikenal dengan sebutan “Batang Hari Sembilan” (Jambi, Bengkulu, Sumsel, dan Lampung), yang sesungguhnya juga dapat merepresentasikan Indonesia kecil. Di daerah ini memang mengalir sembilan sungai yang besar, dengan keberadaan kesembilan sungai tersebut termasuk dengan anak-anak sungainya, wilayah ini memiliki kekayaan rangkaian aneka etnis yang beragam budaya lokalnya. Seperti: Naskah Simboer Tjahaya, rumah panggung, surat ulu, huruf kaganga, pemerintahan marga, lebak lebung, musik batang hari sembilan, guritan, rejungan, serta berbagai macam kekayaan dan keunikan lainnya dari budaya ulu.

Kita juga mengenal mitos tentang Si Pahit Lidah dan Si Mata Empat, yang secara turun temurun disajikan dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam kemasan sastra tutur. Bila dikaji lebih jauh, maka keberadaan legenda tersebut juga mencerminkan bahwa masyarakat penghayatnya terdiri atas beberapa lokal kultural yang selaras dengan aliran batanghari yang ada di wilayah ini.

Di wilayah Palembang khususnya, berkembang budaya ilir dengan patron kesultanan sebagai representasinya. Kesultanan Palembang menjadi pelanjut tongkat estafet kenegaraan setelah kebesaran Sriwijaya sebagai pendahulunya. Di kala itu bandar Palembang dengan sungai Musinya, sempat menjadi tempat atau pusat dalam siar agama Islam bagi wilayah Indonesia lainnya.

Dari uraian di atas terlihat jelas konsistensi dan besarnya kontribusi batanghari dalam mewarnai pola hidup dan kehidupan masyarakat di wilayah ini, sejak dulu, kini dan tentu mendatang. Namun ironisnya, ternyata Sumatra Selatan hingga hari ini belum juga menyiapkan sumber daya manusia (SDM) pruduk lokal, yang berkualitas dan memiliki integritas tinggi untuk dapat menggali dan menumbuhkembangkan kebudayaan batanghari. Potensi lokal dapat menjadi sumber inspirasi dalam mengeksplorasi diri guna menghasilkan karya-karya kekinian yang imajinatif dan inovatif, tanpa harus tercerabut dari nilai kelokalan yang ada.

***

SUMATRA Selatan sebagai wilayah geografis-politis, dalam banyak hal sering digampangkan atau dipaksakan untuk dimaknai atau diidentikkan sebagai wilayah geografis-kultural, termasuk dalam hal ini Kabupaten dan Kota yang ada di Sumsel. Sehingga, tidak pelak lagi bersama itu pula berbagai kerancuan sekaligus pembenaran pun berlangsung, dan kekayaan ciri kelokalan (lacal identity) secara berangsur terus terkubur bersama proses penyeragaman (pola ORBA) yang sporadis.

Derasnya gelombang modernitas dari hari ke hari semakin mendera, betapa tidak segenap komponen masyarakat tampaknya relatif menjadi pendukungnya, dan seolah terhipnotis ketika dihadapkan dengan konsep globalisasi sekaligus peradaban kontemporernya. Awalnya memang terpusat di masyarakat perkotaan, namun tidak terelakkan kini mulai merambah pula dan telah sampai kepada masyarakat perdusunan.

Paradigma modernisasi telah membelenggu pare elit dan intelektual yang ada di Sumatra Selatan, yang memang sejak lama cenderung selalu gagap gempita ketika harus mengeja kebudayaan lokalnya, mereka menjadi terbata-bata tidak ubahnya seperti ketika mereka harus menuturkan diksi-diksi yang memang asing.

Program kerja dan kebijakan yang diambil kemudian dilaksanakan oleh pare elit serta intelektual Sumsel yang katanya sebagai orang modern, juga selalu kering dan cenderung tidak membumi, sehingga tidak mengherankan bila hasilnya pun tidak berdampak banyak dalam menumbuhkembangkan potensi lokal.

Satu contoh, kegiatan budaya melalui Festival Sriwijaya yang hingga saat ini sudah dilaksanakan belasan kalinya, namun kegiatan itu tampaknya dari tahun ke tahun hanyalah sebatas rutinitas standar proyek belaka. Jadi, walaupun kegiatan festival tersebut hingga kini sudah menghabiskan anggaran yang lumayan besar, tetapi hasilnya memang tidak dapat diharapkan akan mampu mendorong pertumbuhan dan perkembangan bidang seni, budaya, dan pariwisata di Sumatra Selatan.

***

BAGAIMANA dengan dunia akademik khususnya Perguruan Tinggi (PT) di Sumatra Selatan? Gambaran para elit dan intelektual di atas, lebih-kurang representasi dari dunia kampus atau dunia para akademisi yang ada di Sumatra Selatan.

Dari sejumlah PT baik negeri maupun swasta yang ada di Sumatra Selatan, tidak satupun kampus yang membuka program studi (murni): Sastra dan Bahasa, Sosiologi, Antropologi, Sejarah, Filsafat, dan Seni. Alasan klise dari mereka -para pengelola-, yang umumnya selalu mengkambinghitamkan masyarakat dan cenderung berperan sebagai peramal, bahwa jurusan atau prodi tersebut tidak diminati masyarakat karena kurang menjamin masa depan.

Ironisnya lagi, ketika tahun 1988 ada diskusi di Dewan Kesenian Sumatra Selatan (DKSS), saat itu saya mengusulkan hendaknya di Sumatra Selatan (Unsri khususnya) dibuka jurusan Seni Rupa, dijawab oleh Ketua Umum DKSS waktu itu, bahwa: Kita di Sumatra Selatan tidak ingin lagi menambah jumlah pengangguran intelektual. Jawaban tadi saya maknai, artinya selama ini PT di Sumatra Selatan memang banyak menghasilkan pengangguran intelektual, karena sepengetahuan saya jurusan Seni Rupa bukan mencetak pengangguran, tetapi untuk menghasilkan seniman yang sarjana.

Fakta di lapangan selama ini, PT di Sumatra Selatan memang cenderung masih kurang perhatiannya akan potensi kelokalan yang ada. Bahkan, penggalian-penggalian kelokalan dan pengelolaan seni budaya di Sumatra Selatan yang dilakukan selama ini, harus diakui umumnya dilakukan oleh para alumni dari PT di luar Sumatra Selatan.

Warisan leluhur yang ada di Dataran Tinggi Pasemah, sesungguhnya merupakan museum dan sekaligus laboratorium megalitik alam terbuka berkelas dunia, yang menyimpan potensi kelokalan. Dengan keberadaan PT yang mengelola prodi Sastra dan Bahasa, Sosiologi, Antropologi, Sejarah, Filsafat, dan Seni, di Sumatra Selatan, tentu suatu saat mendatang para alumnus PT tersebut akan mampu menjawabnya melalui penelitian-penelitian ilmiah dari segenap civitas akademikanya.

Dari hasil penggalian, penelitian, dan atau pembacaan-pembacaan tersebut tentu nantinya secara langsung ataupun tidak, akan kembali menumbuhkan kesadaran bagi masyarakat Sumsel akan potensi yang dimilikinya, baik sejak masa prasejarah (megalitikum), Sriwijaya, hingga masa Kesultanan Palembang, wilayah ini selalu memegang peran penting bila tidak ingin dikatakan sebagai pusat dari tumbuhkembangnya sebuah peradaban.

Mereka akan menjadi garda terdepan dalam menggali, membongkar, melestarikan, kemudian menumbuhkembangkan nilai-nilai kelokalan tersebut, selaras dengan semangat zaman dengan kekinian tentunya. Mereka pula yang akan mengetuktularkan pengetahuannya kepada para otodidak yang tidak berkesempatan dan atau memang tidak berminat belajar melalui jalur formal.

Khusus untuk jurusan atau prodi Seni Rupa misalnya, nantinya akan menghasilkan SDM yang dapat memilih salah satu dari dua bidang keakhlian yang diminati, yakni: Seniman praktisi (kreator seni) dan atau sebagai pewacana, seperti: peneliti, pemerhati, pengamat, kritikus, kurator, dan lain sebagainya.

Bila kini hanya ada satu, dua orang seniman, atau lebih yang kelahirannya berasal dari Sumatra Selatan, dapat meraih sukses di tingkat nasional atau bahkan internasional, maka dengan keberadaan PT Seni yang dikelola dengan baik dan benar di daerah ini, bukan tidak mungkin nantinya di Sumatra Selatan akan bermunculan sepuluh atau mungkin lebih penerus Amri Yahya, Bur Rasuanto, dan AT. Mahmud muda lainnya, yang siap mengawal dalam menumbuhkembangkan seni khususnya, dan kebudayaan batanghari pada umumnya. Semoga. [*]

Read more...

About This Blog

About This Blog

  © Blogger template Columnus by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP